Halaman

Minggu, 01 Februari 2009

Fatwa MUI Tentang Tidak Ikut Pemilu (GOLPUT)

Dipaksakan dan Kontraproduktif

Dalam sidang pleno Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se Indonesia III di Padang Panjang, Sumatra Barat, Ahad, 25 Januari 2009 dinyatakan antara lain bahwa tidak ikut memilih dalam PEMILU hukumnya adalah haram.

Dilihat dari perspektif hukum Islam fatwa tersebut tidak tepat, dan dalam perspektif hukum positif juga bertentangan dengan undang-undang, karena keikutsertaan seseorang dalam PEMILU adalah hak bukan kewajiban. Sehingga fatwa tersebut terkesan dipaksakan dan akan kontraproduktif, yang akan membuat MUI makin diremehkan oleh umat Islam.

Dari perspektif agama Islam PEMILU bukanlah syari'at sehingga tidak perlu dihukumi. Bahkan dalam Fiqh Siyasahpun tidak dikenal adanya institusi PEMILU dalam memilih Imaamul Muslimin atau Khalifah. Sehingga menarik-narik masalah PEMILU ke ranah agama (syari'at) adalah bertentangan dengan nash syari'at yang sharih (QS. Al-Hujurat : 1). Pada ayat ini Allah melarang orang-orang yang beriman menetapkan suatu hukum sebelum ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya.

Lebih tegas lagi Allah menyatakan dalam QS. An-Nahl : 116, yang oleh Ibn Katsier (w.774 H) ditafsirkan, "Termasuk dalam pengertian ayat ini adalah orang yang membuat perilaku bid'ah yang tidak ada sandarannya dalam syari'at dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah, atau mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah hanya berlandaskan rasio dan syahwatnya".

Apabila kita menarik-narik masalah PEMILU kepada masalah syari'at maka akan mengerdilkan agama Islam yang bersifat universal (QS. Al-Anbiya : 107). Walaupun ada kaidah Ushul Fiqh yang menyatakan "Al-Hukmu yadurru ma'a al-illati wujudan wa adaman", namun kaidah ini tidak dapat diterapkan dalam masalah PEMILU yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah agama.

Kami memperingatkan, sebagai ulama agar berhati-hati betul dalam mengeluarkan fatwa, karena akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT (kullukum roo'in wakullukum mas'ulun 'an ro'iyytihi).

Fatwa haram tersebut dapat mengarah pada kampanye partai-partai yang menyatakan pula haram (kafir) bagi mereka yang tidak memilih partainya. Secara individual dapat memunculkan kampanye individual, kalau tidak memilih dirinya atau seseorang hukumnya haram. Padahal meminta amanat jabatan kepemimpinan di dalam syari'at Islam adalah haram hukumnya. Sebagaimana Rasulullah SAWtelah mengingatkan sahabatnya.

Fatwa "ulama warosatul anbiya" yang takut kepada Allah, hendaklah benar-benar dapat dijadikan sebagai rujukan dan pegangan umat dalam menegakkan syari'at Islam yang rahmatan lil 'alamin di muka bumi ini. Wallahu a'lam bish shawwab. Drs.KH.Yakhsyalloh Mansur,M.A

Tidak ada komentar: