Halaman

Selasa, 09 Februari 2016

Kepemimpinan di Perguruan Tinggi

Ada sementara fakta dari dunia perguruan tinggi sendiri, bahwa bukan kepemimpinan kharismatik yang sangat diperlukan untuk mewujudkan manajemen yang efektif. Justru beberapa penelitian menerangkan dengan gamblang bahwa dalam “sistem aktivitas yang terdistribusi” yakni pada kondisi dan titik di mana pengambilan keputusan bersifat tersebar (Jarzabkowski: 2003).

Dengan kata lain, kepemimpinan individual tidak berpengaruh banyak untuk menggapai kesuksesan perguruan tinggi. Yang justru diperlukan adalah budaya organisasi (organizational culture) yang mendorong kesadaran akan samanya tujuan; yang mengundang adanya debat ketat nan menarik guna terwujudnya sebuah keputusan yang dilaksanakan dalam skala waktu yang tepat.

Dengan demikian, manajemen sentral boleh saja menginisiasi kebijakan namun tugas yang lebih penting adalah mengkordinasi serta merespon proposal strategis terkait yang diajukan dari bawah. Karena memang sejatinya, strategi lahir dalam lingkungan yang mendorong ide-ide segar. Makanya, manajemen strategis adalah tentang pengisian bahan bakar dan “menampi” proses ini dengan memastikan bahwa ide-ide yang harus didukung relevan dan konsisten dengan kerangka tujuan kelembagaan yang sudah mapan. Perguruan tinggi yang baik mendorong iklim inovasi dan pengembangan, di mana insiasi dan ide baru didukung dan dihargai. Dalam manajemen strategis, iklim kompetisi adalah tentang menciptakan kesuksesan bukan tentang menopang status quo.

Searah dengan itu, perguruan tinggi mesti melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien. Secara lebih elaboratif, perlu disadari paradigma pembinaan aparatur perguruan tinggi pun kian bergeser pada tiga ranah sekaligus: (1) kemandirian (autonomy), (2) akuntabilitas (accountability), dan (3) jaminan kualitas (quality assurance).

Dalam al-Qur’an sendiri, disebutkan tiga hal ini. Yang pertama, kemandirian. Nilai kemandirian misalnya dapat kita dapatkan dalam surah al-dhuha. Kalau ingin sedikit dielaborasi, surah ini mengajarkan nilai kemandirian yang bersumber pada nilai tauhid kepada Allah. Nilai inilah yang melahirkan al-Dhuha (giatnya kerja) demi kemandirian.

Sementara, akuntabilitas tentu sangatlah penting. Dalam al-Quran kata-kata sepadan yang menunjukkan arti akuntabilitas dapat diwakili oleh dua kata: “amin” dan “hafiizh”.

Bila kita melihat perguruan-perguruan tinggi yang melorot prestasinya, kita akan menemukan di dalamnya struktur bagian yang kaku, kegagalan untuk mengenali dinamika lingkungan yang selalu berubah, hirarki dan proses pengambilan keputusan yang konservatif dan keengganan untuk bersaing.( (Copas H. Akh. Fauzi Aseri) Referensi hipotesa....

sumber: https://www.facebook.com/ekawati.yulsilviana/posts/10205824708764718?fref=nf

Tidak ada komentar: